Tentang Rizki 3

Jumat, 08 Juni 2012
 * segala aktifitas yang kau perjuangkan untuk memperoleh nilai manfaat yang lebih adalah kebaikan rizkimu  


3. Rizki adalah jaminan Allah kepada mahlukNya, tugas mahluk adalah menyempurnakan Ibadah kepadaNya. 


     Yang kita bicarakan ini adalah tentang orang orang yang sudah meletakkan dunia di belakang punggungnya. Ini bukan berarti mereka orang orang yang fakir. Sebab, bisa jadi secara finansial mereka jauh lebih berlimpah daripada kita. Namun, mereka pun dapat ditemukan diantara orang orang yang fakir.
Definisinya bukan Ia harus miskin atau Ia pasti kaya. Melainkan ada pada sikap diri yang tidak terhampir (terbelenggu), dan cara mereka memperlakukan dunia.   


     Mereka telah sampai pada keyakinan yang tertaman kuat di relung hatinya, bahwa pengaturan rizki berada mutlak di tangan Yang Maha Memberi. Berangkat dari keyakinan itu, mereka tetap mempertahankan iffah (pantang meminta pada mahluk), meski kesulitan hidup, kemiskinan dan musibah mendera dirinya. Dan sebaliknya, bila Ia diberi kelapangan dan kelimpahan rizki, yang difikirkan adalah bagaimana membelanjakan sebanyak mungkin untuk nilai manfaat yang luas kepada yang lain. Intinya, keadaan miskin yang mendera, dan kaya yang menyapa, tidak membangkitkan nafsu dan egonya yang sudah pulas ditidurkan.


     Ia bisa seseorang yang sangat masyhur, yang selalu menjadi titik pusat perhatian pada setiap kehadirannya. Orang orang yang terhormat, orang orang penting, merasa tidak malu untuk berebut sekadar untuk mencium tangannya, sebab mereka justru didera rasa malu bila menahan diri untuk tidak menciumnya. Bila kita menatapnya, kita merasakan kalau Ia sesejuk air telaga. Dan bila Ia sudah berkata kata, tak ada rasa bosan kita menyimaknya. Kita justru menjadi merasa khawatir, kalau kalau ada satu dua kata yang lepas dari pendengaran kita, dimana kita merasa merugi bila tidak mendapat pemahaman dari apa yang dikatakannya. Karismanya menyilaukan, karena sinar dari dirinya memancar sempurna, membuat khalayak yang redup merasa tercerahkan.

       Ia bisa seseorang yang lepas dari perhatian kita. Seseorang yang kita abaikan, atau kita pandang dengan sebelah mata. Kehadirannya pada suatu tempat dan peristiwa, tidaklah penting bagi orang orang yang hadir, bahkan Ia bisa menjadi sesuatu yang merusak pemandangan. Mereka adalah orang yang sudah meletakkan dunia di bawah telapak kakinya.  Ia bisa seorang pengemis yang menghampiri pintu rumah kita, atau pemungut sampah yang bila berpapasan kita memijit hidung menghindari bau tubuhnya,  atau seorang pengelana yang lusuh, atau orang orang yang menurut 'akal' kita menempati kedudukan pekarjaan yang hina, dimana kita mengira bahwa mereka melakukannya karena rendahnya kecerdasan yang dimilikinya. Dimana 'akal' kita menyangka kalau mereka sangat terbatas untuk memilih dan berkreasi dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya.


     Betapa rendahnya kita bila masih bersemayam rasa bangga dengan aksesoris kebendaan gemerlapnya dunia yang mampu diraihnya, karena berarti kita telah memasrahkan diri untuk masuk dalam penjara "ujub' dan 'riya'. Mengapa 'ujub' dan 'riya' disebutnya penjara, karena ia hanya menancapkan kegelisahan dan kecewa di dada kita.


     Betapa dangkalnya kita bila  menilai seseorang dari baju yang membungkus kulitnya, kendaraan yang dipakainya, pekerjaan yang digelutinya, karir yang dicapainya, pangkat yang dilekatkannya, atau jabatan yang dimilikinya. Karena berarti telah menjebakkan diri dalam kerangkeng 'kesombongan'. Mengapa 'kesombongan' disebutnya kerangkeng, sesuatu yang lebih sempit dari penjara, karena ia akan menaburkan rasa sesak di dada kita. 


      Allah sangat mengharapkan taubatnya kita dari segala kemaksiatan dan dosa, kecuali dosa ' sombong' yang bersemayam di dada kita, karena ia merupakan pakaian iblis yang keliru berprasangka; bahwa kedudukan api lebih mulia dari tanah.


     Dada dari golongan ketiga ini adalah jenis "muthma'innah", yang sudah mampu melepaskan diri dari prediksi, praduga, dan prasangka. Sedang kebanyakan kita ada pada tataran "ammarah" dan "lawwamah", kecuali yang sampai.


     Mari kita bertelanjang di depan cermin yang lebar
     Kita akan gamblang melihat:
     betapa tubuh ini penuh dengan luka.


                                                                 ***




Keadilan Tuhan




     Pada suatu siang yang panas di padang pasir, seorang pemuda yang gagah menghentikan laju kudanya secara tiba tiba. Ada gurat lelah di wajahnya, dan karena alasan itulah Ia menghentikan laju kudanya, begitu Ia melihat telaga dengan pohon besar yang rindang menaunginya. Di tengah padang pasir yang membentang tak berujung, menemukan telaga dengan pohon yang rindang adalah seperti menemukan surga.

     Usai meneguk air telaga, dan menceburkan tubuhnya di tepian telaga, Ia pun duduk melepas lelah sambil memakan sebagian bekal yang dibawanya. Usai makan Ia pun kembali menemukan kesegaran tubuhnya. Sambil tersenyum, Ia menghampiri kudanya dan naik ke pelana, memacunya kuat kuat menembus belantara padang pasir, dan meninggalkan debu yang bertaburan dari hentakan kaki kuda yang kuat menekan pasir. Ia tidak menyadari, kalau ada bekal yang tertinggal di tempatnya Ia sejenak beristirahat.

     Hening. Sepi di tempat itu, sampai kemudian datang seorang pemuda dengan pakaian kumal dan lusuh datang ke tempat itu. Sama seperti pemuda gagah yang menaiki kuda yang baru saja berlalu, pemuda miskin ini pun menelanjangi dirinya, menceburkan diri ke telaga sambil meminum airnya yang jernih. Ketika Ia memungut pakaian yang hendak dikenakannya, Ia tersentak, matanya menangkap kantung kecil hitam tepat di bawah tumpukan baju yang tadi Ia lepaskan sebelum mandi. Ia terheran heran, mengapa tadi ketika meletakkan baju tidak menyadarinya. Ia pun memungut kantung hitam itu, membukanya, dan menemukan emas dan berbagai permata indah di dalamnya. Ia tersenyum dan bergumam, ' ini rejeki luar biasa.'
Dengan langkah yang ringan dan riang, Ia menyeret kakinya yang dekil berdebu, berlalu menembus pasir menuju kampungnya yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.

     Hening. Sepi di tempat itu. Sampai kemudian datang lelaki tua yang lusuh datang ke telaga itu. Seperti kedua pemuda yang telah berlalu dari tempat itu, lelaki tua ini pun melepas bajunya, menceburkan diri ke telaga dan meminum sebagian airnya untuk menuntaskan dahaga, dan mengenakan kembali pakaiannya yang lusuh. Berbeda dengan kedua pemuda yang tadi, lelaki tua dan lusuh ini memilih tiduran di bawah akar pohon yang rindang, sampai kemudian benar benar pulas tertidur.

     Di tempat lain, pemuda gagah yang menunggang kuda tiba tiba menghentikan laju kudanya. Ada perasaan khawatir kalau kalau barang berharga miliknya yang disatukan dalam satu buntalan dengan makanan tidak ikut terbawa. Dengan terburu buru Ia pun membongkarnya. Dan benar, Ia tidak menemukan kantung hitam berharga dalam buntalannya. Dengan tergesa Ia memutar balik arah laju kudanya. Di atas pelana, Ia memastikan bahwa barang berharga miliknya tertinggal di telaga pada saat Ia sejenak beristirahat.

     Sampai di telaga,  pemuda gagah berkuda menemukan lelaki tua yang tengah pulas tertidur. Dengan kasar, lelaki tua itu dibangunkan.
     ' Dimana kau sembunyikan kantung hitam milikku!!!', bentak pemuda itu. Lelaki tua yang tak tahu arah pertanyaan pemuda itu hanya gemetar.
     ' Tadi aku singgah kesini, dan kantong berisi permata tertinggal ditempat ini!. Kini aku kembali kesini dan menemukan kamu tidur disini!. Pasti kamulah yang mengambilnya!.' Dengan gemetar lelaki tua itu berkata bahwa Ia tidak tahu menahu tentang kantung yang dimaksud pemuda itu. Pemuda itu pun menghunuskan pedangnya dengan harapan lelaki tua yang menyembunyikan kantung permatanya menjadi ciut nyalinya dan menyerahkan kembali sesuatu yang menjadi miliknya.

     Tapi lelaki tua itu tetap bersikukuh tidak mengakuinya. Dengan marah yang sudah membuncah, akhirnya pemuda itu memilih jalan pintas, menebaskan pedangnya ke tubuh lelaki tua itu hingga tewas. Ia pikir itulah cara termudah dan tercepat, membunuhnya, menggeledahnya, dan membawa pulang kembali miliknya. Karena Ia berkesimpulan sebagaimana keadaan dirinya, bila Ia menemukan harta yang amat berharga, tentu Ia memilih memilikinya daripada mengembalikannya.

     Tapi betapa kecewa pemuda itu. Setelah menggeledah sekujur tubuh lelaki tua yang dibunuhnya, Ia tak menemukan kantung miliknya. Setelah menggeledah disekitarnya, barangkali lelaki tua itu cerdik sudah menyembunyikannya, Ia pun tak menemukannya. Ia pun pulang dengan terburu buru dan kecewa. Terburu buru takut diketahui perbuatan membunuh, dan kecewa tidak membawa pulang barang berharga miliknya.


     Peristiwa ini sampai ketelinga Nabi Musa 'Alaihissalam lewat seorang muridnya yang mempertanyakan keadilan Tuhan. Betapa Tuhan tidak adil, karena membiarkan hidup pemuda yang mengambil kantung emas permata, dan lelaki tua yang tak berdosa malah dibunuh.

     Lewat Wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril, Nabi Musa menjelaskan duduk perkaranya kepada muridnya yang menilai bahwa Tuhan tidak adil.

     Nabi Musa "Alaihissalam berkata:  Dahulu, ada petani kaya yang dirampok dan dibunuh. Dua perampok itu menguras seluruh harta, setelah membunuh suami istri petani yang kaya. Setelah merampok, salah satu dari kedua perampok ingin menguasai seluruh hasil rampokannya. Karena tamak, Ia enggan membagi dua dengan kawan merampoknya, Lalu Ia pun membunuh kawan merampoknya. Ketahuilah, Lelaki tua yang dibunuh pemuda gagah di telaga itu adalah perampok yang tamak dan membunuh kawan sendiri. Dan lelaki gagah yang membunuh lelaki tua itu adalah anak dari perampok yang dibunuh kawan merampoknya. Dan pemuda lusuh yang menemukan kantong berisi emas dan permata itu adalah anak dari petani kaya yang dirampok. Jadi, meskipun tidak langsung, Tuhan telah berbuat sangat adil.

                                                                     ***







Saudara Kembar Syetan



     Ada seorang lekaki yang sudah lama menikah tapi belum juga mempunyai keturunan. Sudah bertahun-tahun Ia ingin memiliki anak, tapi keinginan itu belum tercapai juga. Ia telah melakukan berbagai ikhtiar agar cita-citanya mempunyai anak dapat terwujud. Berbagai nadzar telah Ia ucapkan, namun tetap saja anak yang diidam-idamkan tak kunjung hadir.

     Entah karena putus asa atau karena nekad, suatu hari ia dengan kesal mengucapkan nadzar, “seandainya aku dikaruniai anak oleh Allah, aku akan bersedekah kepada saudara-saudaranya syetan masing-masing 50 Dinar…!”
     Wallahu a’lam, apakah karena nadzarnya itu ataukah sebab memang sudah menjadi kehendak Allah, tak lama kemudian istrinya hamil dan melahirkan seorang putra yang sehat dan tampan. Betapa gembiranya hati laki-laki itu beserta istrinya dengan kehadiran anggota baru dalam keluarga mereka. Dengan penuh cinta dan kasih sayang mereka merawat putranya tersebut. Laki-laki itu pun telah melupakan nadzar yang pernah ia ucapkan.
     Pada suatu malam, laki-laki tersebut mimpi bertemu syetan didalam tidurnya. Syetan berkata kepadanya, “Wahai Fulan, jangan lupakan nadzarmu untuk bersedekah kepada saudara-saudaraku!”

     Laki-laki itu lantas bertanya kepada setan, “Siapakah saudara-saudaramu?”
Syetan menjawab, “Carilah pezina, pemabuk, penjudi, pendurhaka kepada kedua orangtua dan orang yang bakhil lagi serakah karena mereka itulah saudara-saudaraku.”
   Setelah terbangun dari tidurnya, tanpa berpikir panjang lagi langsung Ia mengambil uangnya dan melangkah mencari saudara-saudaranya setan yang disebutkan dalam mimpi.

     Ia mencari diantara tetangganya, tetapi tak Ia temukan. Akhirnya Ia berjalan menuju desa sebelah. Orang pertama yang ditemuinya adalah pezina. Ketika disodorkan uang sebanyak 50 Dinar, pezina itu keheranan dan bertanya, “Dalam rangka apa engkau memberiku uang ini?” Laki-laki itu lalu mengisahkan nadzar dan mimpinya.
Mendengar cerita laki-laki itu, sang pezina langsung saja bersujud, menangis, dan bertaubat kepada Allah. Ia berniat untuk tidak mengulangi pekerjaannya karena tidak mau disebut sebagai saudaranya syetan. Uang 50 Dinar pun ditolaknya.

     Orang kedua yang ditemui laki-laki itu adalah pemabuk. Ketika si laki-laki menyodorkan uang 50 Dinar, sang pemabuk pun bertanya apa maksud dari pemberian ini, “Mengapa engkau memberikan uang sebanyak ini padaku padahal aku adalah seorang pemabuk yang suka menghamburkan uang untuk membeli minuman keras?” laki-laki tersebut menjawab, “Justru karena itulah aku ingin memberimu uang ini.” Ia lalu menceritakan nadzar dan mimpinya.

     Mendengar penuturan si laki-laki, sang pemabuk pun lalu tersungkur lemas, bersujud dan tak henti-hentinya Ia mengucapkan kalimat istighfar (permohonan ampun). Uang 50 Dinar yang hendak diberikan lelaki itu pun ditolaknya. Pemabuk itu pun memilih bertaubat, daripada menjadi saudaranya syetan.

     Orang ketiga yang ditemuinya yaitu penjudi, ketika mendengar cerita laki-laki itu juga lantas bertaubat dari kebiasaannya berjudi. Orang keempat yaitu pendurhaka kepada kedua orangtua, begitu mendengar penuturan laki-laki itu, sambil menangis keras segera menuju rumah orangtuanya untuk meminta maaf kepada mereka. Baik orang ketiga juga orang keempat menolak menerima uang 50 Dinar dari laki-laki tersebut.
    Dengan langkah yang lemas karena lelah akhirnya si laki-laki menemukan rumah saudara setan yang terakhir, yaitu seorang yang kikir lagi tamak. Dengan napas terengah-engah, ia lalu mengetuk pintu rumah yang megah itu. Dalam hati si laki-laki ada terbersit kekhawatiran, bahwa si kikir ini akan menolak juga uang nadzar darinya, seperti saudara-saudara syetan yang lain.
“Assalamu alaikum…!”
     Tak lama kemudian si bakhil, sang pemilik rumah, mengeluarkan kepalanya dari pintu tanpa menjawab salam sang tamu. Tubuhnya tersembunyi, hanya kepalanya saja yang kelihatan. “Yah, ada keperluan apa…?!
     "Aku ingin memberimu uang 50 Dinar.”
     Mendengar kata-kata uang, si bakhil bin serakah ini langsung membuka pintu dan segera menyambar kantung uang di tangan tamunya. “Mengapa engkau memberiku uang sebanyak ini, apa kau pernah punya hutang padaku…?”

    Lalu tamunya itu menceritakan nadzar dan mimpinya serta pertemuannya dengan pezina, pemabuk, penjudi dan orang yang durhaka pada orangtuanya. Mendengar kisah ini, si kikir lagi serakah langsung saja mengulurkan tangannya sambil berkata, “Kalau mereka tak mau terima uangnya, berikan saja semua uang itu kepadaku..!”

Dengan mata terbelalak laki-laki yang bernadzar itu menyerahkan uangnya dan beranjak dari rumah tersebut seraya berkata, “ Ini baru, benar-benar saudara kembarnya syetan…!!”

                                                                             ***

Pohon Keramat

Rabu, 06 Juni 2012


     Hiduplah sepasang suami-istri dengan tenteram dan damai.. Meskipun keadaan mereka melarat, tetapi   mereka berdua selalu taat kepada perintah Allah. Segala yang dilarang Allah dihindari, dan ibadah mereka tekun sekali. Si suami adalah seorang alim yang takwa dan tawakal.

     Pada suatu ketika istrinya mengeluh terhadap kemiskinan yang melilit serta tidak ada habis-habisnya itu. Ia mendesak suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan, alangkah senangnya hidup jika segala yang menjadi hajat dan keperluannya serba tercukupi.

     Ahirnya laki-laki yang alim itu berangkat menuju ke kota, dengan tujuan mencari pekerjaan, memenuhi desakan Istrinya.. Di tengah perjalanan ia melihat sebatang pohon besar dan rindang yang tengah dikerumuni orang. Ia mendekat, ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan angker itu. Banyak juga kaum wanita serta pedagang yang meminta-minta agar suami mereka setia dan dagangannya laris.
"Ini syirik," pikir laki-laki yang alim tadi. "Ini harus diberantas habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta kepada selain  Allah."

     Maka pulanglah ia buru-buru.  Istrinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi    ketika dilihatnya si suami mengambil sebilah kampak yang diasahnya tajam. Lantas laki-laki alim tadi bergegas keluar. Istrinya bertanya, tapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keledainya, lalu dipacunya cepat-cepat menuju ke pohon keramat itu.

     Di tengah perjalanan, tiba-tiba Ia dihadang sesosok tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah syetan yang menyamar sebagai manusia.
      "Hai, mau ke mana kamu?" tanya si iblis.
Orang alim tersebut menjawab," saya mau menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon syirik itu."
     "Kamu kan tidak ada hubungan apa-apa dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah, pulang saja."
      "Tidak bisa, kemungkaran harus diberantas," jawab si alim bersikap keras.
      "Berhenti, jangan teruskan!" bentak iblis marah.
      "Akan saya teruskan!"

    Karena masing-masing ngotot pada pendiriannya, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tersebut dengan syetan. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah bisa dibinasakan. Sebab syetan begitu tinggi besar, sedangkan si alim kecil kerempeng. Namun ternyata syetan telah tiga kali dipukul rubuh hingga babak belur. Syetan menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan meringis kesakitan ia berdiri dan berkata, "Tuan, maafkanlah kekasaran saya, Saya tak akan berani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila tuan selesai mengerjakan shalat subuh, dibawah tikar sembahyang tuan saya sediakan uang emas empat dinar. Pulang saja buru-buru, jangan teruskan niat tuan dulu itu."

     Mendengar janji manis syetan berujud manusia dengan uang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim. Ia teringat istrinya yang ingin hidup berkecukupan. Ia ingat betapa istrinya mengomel saban hari karena uang belanja yang kurang. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja, berarti ia akan menjadi orang kaya. Mengingat desakan istrinya maka pulanglah ia. Urung niatnya yang semula hendak memberantas kemungkaran.

     Demikianlah, semenjak pagi itu istrinya tidak pernah cemberut lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai shalat, dibukanya tikar sembahyangnya. Betul, di situ tergolek empat benda mengkilat, empat dinar uang emas. Dia terloncat kegirangan, dan istrinya memeluknya dengan mesra. Begitu juga hari kedua. Ketika pada hari ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar sembahyangnya, masih didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah tikar sembahyangnya tidak ada apa-apa lagi kecuali tikar pandan yang rapuh. Istrinya mulai cemberut karena uang yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali.

     Ahirnya Si alim menenangkan istrinya, "Jangan kuatir, besok pagi barangkali kita bakal mendapat delapan dinar sekaligus."
      Keesokan harinya, harap-harap cemas suami-istri itu bangun pagi-pagi. Selesai shalat dibukanya tikar sajadahnya, kosong. "Kurang ajar, penipu," teriak si istri. "Ambil kampak, tebanglah pohon itu."
     "Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya, hingga ke ranting dan daun-daunnya," sahut si alim itu.

   Maka ia segera mengeluarkan keledainya. Sambil menenteng kampak yang tajam, ia memacu tunggangannya menuju ke arah pohon angker itu. Di tengah perjalanan, syetan yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghadang. Kakinya mengangkang seraya matanya menyorot tajam.
     "Mau ke mana kamu?" hardiknya menggelegar.
     "Mau menebang pohon," jawab si alim dengan gagah berani.
     "Berhenti jangan lanjutkan."
     "Bagaimanapun juga tidak bisa, sebelum pohon itu tumbang."

     Maka terjadilah kembali pergumulan yang seru. Masing-masing mengeluarkan kedigjayaan-nya. Tapi kali ini bukan syetan yang kalah. Si alim tadi terkulai, tubuh dan kepalanya penuh luka-luka yang menganga. Dalam kesakitannya si alim tersebut bertanya heran,"Dengan kekuatan apa engkau bisa mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?"

     Syetan itu dengan angkuh menjawab, "Tentu saja kau dulu bisa menang. Karena waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah. Demi Allah! Andaikata kukumpulkan seluruh bala tentaraku buat mengeroyokmu sekalipun, kami tak akan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya karena tidak ada uang di bawah tikar sajadahmu. Maka biar pun kau keluarkan seluruh kesaktianmu, tidak bakal kamu mampu menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu, biar mampus."

Mendengar penjelasan syetan ini si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah dan niatnya memang sudah tidak ikhlas karena Allah lagi. Dengan terhuyung-huyung ia pulang ke rumahnya. Dibatalkannya niat semula hendak menebang pohon sumber kesyirikan tersebut.

                                                                   ***

 

Goresan Pena Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger