Tentang Rizki 3

 * segala aktifitas yang kau perjuangkan untuk memperoleh nilai manfaat yang lebih adalah kebaikan rizkimu  


3. Rizki adalah jaminan Allah kepada mahlukNya, tugas mahluk adalah menyempurnakan Ibadah kepadaNya. 


     Yang kita bicarakan ini adalah tentang orang orang yang sudah meletakkan dunia di belakang punggungnya. Ini bukan berarti mereka orang orang yang fakir. Sebab, bisa jadi secara finansial mereka jauh lebih berlimpah daripada kita. Namun, mereka pun dapat ditemukan diantara orang orang yang fakir.
Definisinya bukan Ia harus miskin atau Ia pasti kaya. Melainkan ada pada sikap diri yang tidak terhampir (terbelenggu), dan cara mereka memperlakukan dunia.   


     Mereka telah sampai pada keyakinan yang tertaman kuat di relung hatinya, bahwa pengaturan rizki berada mutlak di tangan Yang Maha Memberi. Berangkat dari keyakinan itu, mereka tetap mempertahankan iffah (pantang meminta pada mahluk), meski kesulitan hidup, kemiskinan dan musibah mendera dirinya. Dan sebaliknya, bila Ia diberi kelapangan dan kelimpahan rizki, yang difikirkan adalah bagaimana membelanjakan sebanyak mungkin untuk nilai manfaat yang luas kepada yang lain. Intinya, keadaan miskin yang mendera, dan kaya yang menyapa, tidak membangkitkan nafsu dan egonya yang sudah pulas ditidurkan.


     Ia bisa seseorang yang sangat masyhur, yang selalu menjadi titik pusat perhatian pada setiap kehadirannya. Orang orang yang terhormat, orang orang penting, merasa tidak malu untuk berebut sekadar untuk mencium tangannya, sebab mereka justru didera rasa malu bila menahan diri untuk tidak menciumnya. Bila kita menatapnya, kita merasakan kalau Ia sesejuk air telaga. Dan bila Ia sudah berkata kata, tak ada rasa bosan kita menyimaknya. Kita justru menjadi merasa khawatir, kalau kalau ada satu dua kata yang lepas dari pendengaran kita, dimana kita merasa merugi bila tidak mendapat pemahaman dari apa yang dikatakannya. Karismanya menyilaukan, karena sinar dari dirinya memancar sempurna, membuat khalayak yang redup merasa tercerahkan.

       Ia bisa seseorang yang lepas dari perhatian kita. Seseorang yang kita abaikan, atau kita pandang dengan sebelah mata. Kehadirannya pada suatu tempat dan peristiwa, tidaklah penting bagi orang orang yang hadir, bahkan Ia bisa menjadi sesuatu yang merusak pemandangan. Mereka adalah orang yang sudah meletakkan dunia di bawah telapak kakinya.  Ia bisa seorang pengemis yang menghampiri pintu rumah kita, atau pemungut sampah yang bila berpapasan kita memijit hidung menghindari bau tubuhnya,  atau seorang pengelana yang lusuh, atau orang orang yang menurut 'akal' kita menempati kedudukan pekarjaan yang hina, dimana kita mengira bahwa mereka melakukannya karena rendahnya kecerdasan yang dimilikinya. Dimana 'akal' kita menyangka kalau mereka sangat terbatas untuk memilih dan berkreasi dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya.


     Betapa rendahnya kita bila masih bersemayam rasa bangga dengan aksesoris kebendaan gemerlapnya dunia yang mampu diraihnya, karena berarti kita telah memasrahkan diri untuk masuk dalam penjara "ujub' dan 'riya'. Mengapa 'ujub' dan 'riya' disebutnya penjara, karena ia hanya menancapkan kegelisahan dan kecewa di dada kita.


     Betapa dangkalnya kita bila  menilai seseorang dari baju yang membungkus kulitnya, kendaraan yang dipakainya, pekerjaan yang digelutinya, karir yang dicapainya, pangkat yang dilekatkannya, atau jabatan yang dimilikinya. Karena berarti telah menjebakkan diri dalam kerangkeng 'kesombongan'. Mengapa 'kesombongan' disebutnya kerangkeng, sesuatu yang lebih sempit dari penjara, karena ia akan menaburkan rasa sesak di dada kita. 


      Allah sangat mengharapkan taubatnya kita dari segala kemaksiatan dan dosa, kecuali dosa ' sombong' yang bersemayam di dada kita, karena ia merupakan pakaian iblis yang keliru berprasangka; bahwa kedudukan api lebih mulia dari tanah.


     Dada dari golongan ketiga ini adalah jenis "muthma'innah", yang sudah mampu melepaskan diri dari prediksi, praduga, dan prasangka. Sedang kebanyakan kita ada pada tataran "ammarah" dan "lawwamah", kecuali yang sampai.


     Mari kita bertelanjang di depan cermin yang lebar
     Kita akan gamblang melihat:
     betapa tubuh ini penuh dengan luka.


                                                                 ***




0 komentar:

Posting Komentar

 

Goresan Pena Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger