Pohon Keramat



     Hiduplah sepasang suami-istri dengan tenteram dan damai.. Meskipun keadaan mereka melarat, tetapi   mereka berdua selalu taat kepada perintah Allah. Segala yang dilarang Allah dihindari, dan ibadah mereka tekun sekali. Si suami adalah seorang alim yang takwa dan tawakal.

     Pada suatu ketika istrinya mengeluh terhadap kemiskinan yang melilit serta tidak ada habis-habisnya itu. Ia mendesak suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan, alangkah senangnya hidup jika segala yang menjadi hajat dan keperluannya serba tercukupi.

     Ahirnya laki-laki yang alim itu berangkat menuju ke kota, dengan tujuan mencari pekerjaan, memenuhi desakan Istrinya.. Di tengah perjalanan ia melihat sebatang pohon besar dan rindang yang tengah dikerumuni orang. Ia mendekat, ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan angker itu. Banyak juga kaum wanita serta pedagang yang meminta-minta agar suami mereka setia dan dagangannya laris.
"Ini syirik," pikir laki-laki yang alim tadi. "Ini harus diberantas habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta kepada selain  Allah."

     Maka pulanglah ia buru-buru.  Istrinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi    ketika dilihatnya si suami mengambil sebilah kampak yang diasahnya tajam. Lantas laki-laki alim tadi bergegas keluar. Istrinya bertanya, tapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keledainya, lalu dipacunya cepat-cepat menuju ke pohon keramat itu.

     Di tengah perjalanan, tiba-tiba Ia dihadang sesosok tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah syetan yang menyamar sebagai manusia.
      "Hai, mau ke mana kamu?" tanya si iblis.
Orang alim tersebut menjawab," saya mau menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon syirik itu."
     "Kamu kan tidak ada hubungan apa-apa dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah, pulang saja."
      "Tidak bisa, kemungkaran harus diberantas," jawab si alim bersikap keras.
      "Berhenti, jangan teruskan!" bentak iblis marah.
      "Akan saya teruskan!"

    Karena masing-masing ngotot pada pendiriannya, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tersebut dengan syetan. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah bisa dibinasakan. Sebab syetan begitu tinggi besar, sedangkan si alim kecil kerempeng. Namun ternyata syetan telah tiga kali dipukul rubuh hingga babak belur. Syetan menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan meringis kesakitan ia berdiri dan berkata, "Tuan, maafkanlah kekasaran saya, Saya tak akan berani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila tuan selesai mengerjakan shalat subuh, dibawah tikar sembahyang tuan saya sediakan uang emas empat dinar. Pulang saja buru-buru, jangan teruskan niat tuan dulu itu."

     Mendengar janji manis syetan berujud manusia dengan uang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim. Ia teringat istrinya yang ingin hidup berkecukupan. Ia ingat betapa istrinya mengomel saban hari karena uang belanja yang kurang. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja, berarti ia akan menjadi orang kaya. Mengingat desakan istrinya maka pulanglah ia. Urung niatnya yang semula hendak memberantas kemungkaran.

     Demikianlah, semenjak pagi itu istrinya tidak pernah cemberut lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai shalat, dibukanya tikar sembahyangnya. Betul, di situ tergolek empat benda mengkilat, empat dinar uang emas. Dia terloncat kegirangan, dan istrinya memeluknya dengan mesra. Begitu juga hari kedua. Ketika pada hari ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar sembahyangnya, masih didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah tikar sembahyangnya tidak ada apa-apa lagi kecuali tikar pandan yang rapuh. Istrinya mulai cemberut karena uang yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali.

     Ahirnya Si alim menenangkan istrinya, "Jangan kuatir, besok pagi barangkali kita bakal mendapat delapan dinar sekaligus."
      Keesokan harinya, harap-harap cemas suami-istri itu bangun pagi-pagi. Selesai shalat dibukanya tikar sajadahnya, kosong. "Kurang ajar, penipu," teriak si istri. "Ambil kampak, tebanglah pohon itu."
     "Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya, hingga ke ranting dan daun-daunnya," sahut si alim itu.

   Maka ia segera mengeluarkan keledainya. Sambil menenteng kampak yang tajam, ia memacu tunggangannya menuju ke arah pohon angker itu. Di tengah perjalanan, syetan yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghadang. Kakinya mengangkang seraya matanya menyorot tajam.
     "Mau ke mana kamu?" hardiknya menggelegar.
     "Mau menebang pohon," jawab si alim dengan gagah berani.
     "Berhenti jangan lanjutkan."
     "Bagaimanapun juga tidak bisa, sebelum pohon itu tumbang."

     Maka terjadilah kembali pergumulan yang seru. Masing-masing mengeluarkan kedigjayaan-nya. Tapi kali ini bukan syetan yang kalah. Si alim tadi terkulai, tubuh dan kepalanya penuh luka-luka yang menganga. Dalam kesakitannya si alim tersebut bertanya heran,"Dengan kekuatan apa engkau bisa mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?"

     Syetan itu dengan angkuh menjawab, "Tentu saja kau dulu bisa menang. Karena waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah. Demi Allah! Andaikata kukumpulkan seluruh bala tentaraku buat mengeroyokmu sekalipun, kami tak akan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya karena tidak ada uang di bawah tikar sajadahmu. Maka biar pun kau keluarkan seluruh kesaktianmu, tidak bakal kamu mampu menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu, biar mampus."

Mendengar penjelasan syetan ini si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah dan niatnya memang sudah tidak ikhlas karena Allah lagi. Dengan terhuyung-huyung ia pulang ke rumahnya. Dibatalkannya niat semula hendak menebang pohon sumber kesyirikan tersebut.

                                                                   ***

0 komentar:

Posting Komentar

 

Goresan Pena Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger